Retak yang Berulang

Surinnari
5 min readDec 9, 2023

--

terlatih patah hati tapi bukan karena disakiti.

hamada asahi

Kita semua pernah jatuh cinta. Tapi, pernah nggak kisah cintanya berhasil?

Suatu ketika, gue pernah dengar lagu yang salah satu liriknya mengatakan “beginilah rasanya terlatih patah hati.” judul lagunya Terlatih Patah Hati, dinyanyikan oleh The Rain.

https://youtu.be/N9uF8_0bv0k?si=Xdudnzxego0PBCxO

Sama dengan lagu itu yang dirilis 9 tahun lalu, gue rasa perjalanan percintaan gue yang belum pernah tanpa hambatan ini juga dimulai dari 9 atau 10 tahun yang lalu. Tapi, kalau disuruh sebutin, gue hanya akan bilang, gue cuma pernah serius suka-sukaan sama dua orang.

Bertepuk sebelah tangan, sudah biasa. Ditinggal tanpa alasan, sudah biasa.

Itu sebenarnya lirik lagu Terlatih Patah Hati atau malah kisah gue, ya? Karena keduanya mirip.

Meski sudah sedikit demi sedikit belajar berdamai dengan semua hal yang gue pernah alami dalam perkara romansa, kata-kata “sudah biasa” ini seolah jadi hal yang gue rasakan juga.

Karena terlalu sering, jadi mati rasa.

Sejujurnya, gue jadi lupa rasanya pernah suka sama orang itu bagaimana, yang serius, bukan yang naksir karena ngefans ke cowo kpop gue yang kalau disebutin bisa dikumpulin jadi satu kelas itu. Seolah, ada mental block dalam pikiran ini yang mengatakan pada gue:

Ah, udahlah, mending nggak usah, ntar kaya yang dulu loh

Jadi jatuhnya, terlatih patah hati, tapi bukan karena disakiti. Melainkan, karena ya memang ceritanya belum dimulai sama sekali.

Kasarnya, ya emang mereka nggak suka aja sama lo. Sadar.

Terkadang, mental blocking itu juga seolah mengatakan pada gue kalau.. jangan-jangan selama ini gue ga pantas buat hal-hal percintaan? Tapi, di bagian mananya, ya?

Yah, namanya juga pikiran negatif.

Tapi, sekali lagi gue katakan, meski sudah berdamai sedikit demi sedikit dengan keadaan yang berhubungan dengan ini semua, terkadang, gue masih suka kesal kalau ada teman yang nyeletuk:

Makanya jangan suka duluan

Makanya jangan ngejar

Makanya

Makanya

Makanya

Oke cukup. Gue udah kenyang.

Gue paham sih, konsep mengenai percintaan ini, yang konon katanya akan amat berhasil kalau pihak laki-lakinya yang jauh lebih cinta. Tapi, bukannya cinta itu juga soal timbal balik? Lantas, apakah menaruh hati duluan itu salah? Tapi, kok ada kasus seperti ini yang berhasil? Apa ada faktor lainnya?

Otak gue penuh dengan pertanyaan yang entah penting atau tidak itu.

Sebetulnya, beberapa pembahasan bilang, “bukan salah, tapi pasti berujung kecewa.” maka beruntunglah mereka yang dalam hidupnya tidak pernah menyukai duluan, tapi banyak disukai. Atau, mereka yang suka duluan dan disukai kembali. Timbal balik. I can’t relate (entah? belum, mungkin) kalau kata bahasa Jaksel.

Tapi, rasanya, fase-fase percintaan, gue sebelum lupa jatuh cinta itu gimana, memang seperti sebuah retak yang berulang.

Polanya selalu: gue suka, dia dekat, kami dekat, dia menjauh, gue bingung, tahu-tahu dia muncul udah dengan cerita baru. Sial.

Tapi ya itu, beberapa yang entah pernah merasakan posisi gue atau tidak itu, selalu mengatakan: “makanya ih, lo jangan suka duluan” atau “makanya nggak usah terlalu dibawa serius kalo baru suka-sukaan.”

Dan berujung, muncullah mental block yang baru: takut berharap.

Bahkan di gue, kasusnya bukan cuma di percintaan aja. Tapi, sesuai tema hari ini, gue akan fokus pada satu pembahasan aja.

Mungkin, karena gagal dan retak yang berulang, gue jadi takut untuk membuat cerita yang baru dan menaruh harapan di sana.

Hingga akhirnya, lama-lama terbiasa, lama-lama lupa, dan lama-lama, kata-kata: “oh nggak kok, nggak maksud” dan “ya udah lah ya” udah jadi makanan sehari-hari.

Tahun ini, lucunya, gue dikasih buku untuk direview oleh salah satu penerbit, dengan cerita yang sama dengan apa yang gue rasakan. Jatuh cinta berkali-kali, tapi gagal berkali-kali pula.

Rasanya begitu dekat, meski beberapa hal sebetulnya jauh berbeda antara gue dan tokoh cerita ini. Tapi… rasanya seperti nggak sendirian. Mungkin, ada juga orang di luar sana yang rasain hal yang sama.

Dan, ada satu hal yang bisa gue petik dari semua kejadian ini, yaitu:

Mungkin, kita diminta untuk fokus dulu dengan diri sendiri.

Tapi, ada serunya di tahun ini! Karena setelah sekian lamanya, kayanya ada deh orang yang gue suka. Meski tetap nggak bisa disebut sebagai suka betulan, serius, dan semacamnya. Tapi, seru aja.

Seru. Karena — sekali lagi — setelah sekian lama, pada akhirnya gue bisa perlahan keluar dari belenggu ini:

Skeptis terhadap romansa.

Dan gue berharap, semoga bertahan lama. Semoga nggak akan lagi rasa skeptis itu muncul.

Faktornya ada banyak, salah satunya karena gue punya beberapa teman dekat, sahabat, yang gue observasi secara khusus percintaannya. Dan ternyata: ohh.. gitu ya. Ah, gue nggak bisa menjelaskan maksudnya secara jelas, sebab cukup rumit. Intinya, kalau cinta ke orang yang tepat, pasti tepat. Semua-muanya.

Secara mengejutkan, gue bahkan udah bisa baca novel tema cinta.

Lagi-lagi, setelah sekian lama. Awalnya dari yang romansa tipis-tipis, tapi ternyata.. Nggak buruk kok.

Walau sudah berdamai, gue sebenarnya masih takut. Makanya, menyukai orang yang antara mungkin nggak mungkin, namun lebih ke pilihan kedua— sebutlah ngefans, walau gue lebih suka bilangnya naksir, karena ngefans tuh agak gimana gitu — adalah salah satu rasa aman yang gue buat.

Aman, karena mungkin jatuhnya gue cuma pengagum jarak jauh. Puitis betul.

Tapi kadang, dalam hati gue, muncul pertanyaan…

Gimana kalau nanti gue suka-sukaan dan berujung kaya dulu?

Dan sejujurnya, ini PR, yang selalu disebut teman dekat gue, harus dituntaskan. Alias, gue harus menghapus pikiran itu dan biarkan saja rasanya mengalir tanpa perlu banyak pikiran ini itu. Anggap aja buat latihan.

Ya, ya, ya. Sedang gue usahakan.

Aduh, tapi gimana dong, seru…

Karena, orangnya emang bikin penasaran —si orang yang sebutlah gue ngefans tapi sebetulnya gue lebih suka nyebutnya sebagai naksir itu—

Dan pada akhirnya, ya sudah.. Gue tetap suka-suka aja. Toh, rasanya nggak yang gimana-gimana amat.

Setidaknya, gue ada motivasi, setelah melihat orang ini.

Tapi, sebanyak tidak mungkin yang gue tahu pasti sedang kalian gumamkan saat ini, gue nggak berharap apa-apa kok.

Antara takut berharap dan “ngapain juga”. Yah, begitulah. Tapi, tenang, untuk kali ini, perasaan positifnya cenderung mengisi ruang lebih banyak dibandingkan rasa takutnya. Sebuah kemajuan untuk seorang yang pernah retak berulang.

Selalu ada alasan dan pelajaran yang didapat dari mereka yang singgah di hidup kita, baik yang lama maupun yang sebentar. Buat gue, patah hati kadang memang hadir untuk memberi pelajaran supaya kita bisa memilah dan bangkit, meski rasanya ingin memaki-maki.

Anggaplah, kita — gue, lo yang lagi baca ini — dan orang yang nantinya akan jadi titik temu romansa kita itu, lagi melakukan hal yang sama detik ini. Bisa aja mereka lagi nulis, lagi baca buku, atau melakukan apapun yang sehari-hari bisa aja kita lakukan. Tapi, memang belum ada satu halaman yang mempertemukan.

Jadi, kesimpulannya adalah: terlatih patah hati, bertepuk sebelah tangan, sudah biasa..

Karena pada dasarnya, gue yakin semua sudah ada porsinya. Hanya menunggu waktunya.

--

--

Surinnari

“I think the moment when I stop pretending, will be the moment where I’ve accepted myself.” — Kevin Moon