Perihal Cinta

Surinnari
6 min readDec 24, 2023

--

sunwoo

Seribu tahun pun akan kunantikan kamu~

Itu adalah salah satu penggalan lirik lagu “Terukir di Bintang” karya Yuna yang lagi gue dengarkan akhir-akhir ini. Entah kenapa, lagu Melayu lagi jadi favorit gue beberapa waktu belakangan, mungkin karena musiknya, mungkin karena liriknya, entah, gue nggak tahu pasti.

Hopeless Romantic.

Ini topik yang akan gue bahas sedikit malam ini melalui tulisan yang gue tulis sembari mendengarkan lagu P. Ramlee — Gelora Jiwa yang dinyanyikan kembali oleh Yuna.

Sebelumnya, kita abaikan sebentar tanda-tanda seseorang merupakan hopeless romantic, sila cari terlebih dahulu di tempat lain baru kembali ke sini.

Sayangku, jangan kau persoalkan siapa dihatiku. Terukir di bintang, tak mungkin hilang cintaku padamu.

Romantis? Romantis abis.

Itulah yang ada di otak gue sesaat setelah dan selama gue mendengarkan lagu Terukir di Bintang yang dinyanyikan Yuna.

Mau sejauh apapun rasa skeptis gue dan tidak percaya gue soal cinta waktu dulu — yang mungkin masih ada tersisa sedikit di hari ini — gue mengakui bahwasanya, gue adalah seorang hopeless romantic.

Artinya, terkadang, gue masih merasa senang, berbunga-bunga, dan punya pandangan romantis tentang cinta, jatuh cinta, dan hubungan itu sendiri. Meskipun, kadang masih ada sisa-sisa gue berpikir “idih apaan sih” tentang itu semua.

Cringe aja rasanya, kalau kata anak zaman sekarang.

Menurut gue, jatuh cinta pada fiksi romansa adalah hal manis yang berada di antara mustahil dan mungkin.

Di tulisan “Retak Yang Berulang” gue pernah bahas sedikit tentang perjalanan gue yang pada akhirnya bisa membaca fiksi romantis ini. Dan mungkin, ini salah satu yang membuat kadar hopeless romantic gue bertambah.

Sampai-sampai, ada teman yang bilang kalau standar gue terhadap lawan jenis itu jadi meninggi. Yah.. Sebetulnya, kalau boleh jujur, gue punya kok daftar apa saja yang gue suka dari seseorang — gue tulis untuk kenang-kenangan di masa mendatang bila suatu hari gue bertemu “si orang yang tepat.”

Jatuh cinta di fiksi itu rasanya terlihat mudah, makanya gue bisa bilang itu sebagai hal yang berada di antara mustahil dan mungkin. Kenapa? Karena, bisa aja bagi sebagian orang hal itu mustahil, padahal sebetulnya ada kemungkinan itu bisa terjadi. Dan kenapa gue bisa berkata demikian? Karena memang ada contohnya.

Ada orang-orang di dunia ini, yang entah gue kenal langsung atau tidak, yang bertemu dengan pasangan mereka dengan cara atau cerita yang mirip seperti di fiksi yang gue baca.

Ada lah kisah di mana mereka bertemu dengan cowok mereka lewat teman, ada yang bertemu dan menjalin hubungan, terus setelah dikulik ternyata mereka pernah berada pada satu foto yang sama meski berjauhan, ada pula yang kenal di media sosial , tempat yang mana bagi sebagian orang — seperti gue contohnya — adalah tempat yang harus ekstra hati-hati. Dan masih banyak lagi yang mirip banget fiksi.

Tapi, lagi-lagi.. Itu nyata terjadi dan begitulah adanya.

Ketika gue baca atau mendengar cerita sukses perjalanan cinta mereka ini — terlebih yang mulanya bertepuk sebelah tangan menjadi berbalas — gue jadi merasa:

Apa ada secercah harapan?

Tentunya, gue masih belum menemukan jawabannya. Kalau sudah, tulisan ini tidak terbit karena pasti akan menjadi beda cerita.

Kalau kalian ingat orang yang gue pernah ceritakan di tulisan sebelumnya, si orang yang sebetulnya gue (sebutlah) ngefans, tapi gue lebih senang menyebutnya dengan naksir itu.. Suatu ketika dia pernah bilang:

Relationship yang dia inginkan adalah yang provider. Artinya, membutuhkan dan memberi satu sama lain.

Romantis? Tentu. Banget. Gue kepikiran kata-kata itu berhari-hari, entah karena dia yang berbicara atau karena gue emang suka dengan konsepnya, atau mungkin keduanya.

Meskipun dia mengatakan bahwa rasanya terlalu dini untuk percintaan bagi dia, setidaknya ada pemikiran yang cukup sesuai dengan jalan pikir gue juga, tentang percintaan, yang ada di dalam otaknya.

Dan tiba-tiba, gue teringat salah seorang teman dekat yang mendoakan gue agar mendapatkan pasangan yang saling membutuhkan satu sama lain.

Otak gue, tentu tertuju ke dia sekilas, karena hanya dia yang gue “suka” untuk saat ini.

Nah itu, mungkin itu juga salah satu efek dari hopeless romantic.

Tapi, belakangan ini, menurut gue jatuh cinta itu udah terasa seperti privilege. Apalagi jatuh cinta yang berbalas. Karena, nggak semua orang yang suka duluan, itu bisa disukai balik dengan orang yang dia suka, meski udah sampai jungkir balik usahanya.

Ada satu bahasan mengenai ini yang sebetulnya setelah dipikir-pikir ada benarnya.

Kita semua, harus memantaskan diri.

Dan ini nggak serta merta hanya karena naksir lawan jenis atau hal-hal seputar percintaan lainnya. Pada dasarnya, cinta itu berdasarkan kecocokan antar manusia. Bisa saja, si A berbeda jauh dengan kita, tapi di beberapa hal ada yang sama-sama kita amini dan membuat kita menjadi kompatibel satu sama lain.

Menurut gue ketika kita berusaha menaikkan kualitas diri kita, yang mungkin awalnya kita ingin setara dengan orang yang kita suka, kalaupun nantinya nggak sama dia.. Kita nggak akan rugi. Sebab apa? Sebab yang kita fokuskan itu adalah diri sendiri.

Pada salah satu online seminar yang diikuti oleh teman dekat gue dan dia membagikan rekapannya, kompatibilitas itu bukan perkara hobi harus sama, kesukaan harus sama, atau apalah yang kita selama ini pikirkan (setidaknya gue sih begitu). Melainkan, lebih ke arah prinsip hidup yang diyakini, cara pandang tentang kehidupan, dan tujuan. Makanya ada istilah setara, sekufu tuh ya karena ini. Ibaratnya adalah,

Nakhoda dan penumpang harus memiliki satu tujuan yang sama untuk bisa menaiki kapal yang sama.

Kalau dari awal tujuannya udah beda, gimana bisa naik di kapal yang sama?

Kembali ke bahasan pertama mengenai hopeless romantic ya.

Jadi gini, pada beberapa hal yang gue temui seputar hopeless romantic, atau si percaya cinta tapi tanpa harapan ini, ada satu hal yang menarik bagi gue.

Katanya, orang yang hopeless romantic itu mudah jatuh cinta dan seringnya jatuh cinta sendirian.

Itu dia. Sakitnya tuh begitu.

Untuk hal yang pertama, gue kurang setuju. Sebab kalau boleh jujur, gue bukan orang yang jatuh cinta secara instan, meskipun bisa aja naksir lucu-lucuan pada orang-orang yang mungkin tipenya mendekati apa yang gue cari. Tapi ya hanya sebatas itu.

Untuk yang kedua, gue nggak paham apakah pada hubungan seperti pacaran mungkin, bisa ada salah satu pihak yang ternyata merupakan seorang hopeless romantic. Karena kalau iya, kasus kedua ini menjadi hal yang pedih.

Bagaimana mungkin seseorang yang ada di satu hubungan malah jatuh cinta sendirian?

Katanya sih, seringnya, si pihak yang hopeless romantic ini berpikir bahwa pasangannya memiliki rasa cinta sebesar mereka, padahal sebetulnya belum tentu. Namun, yang ini gue nggak bisa bahas terlampau jauh karena belum pernah mendengar ceritanya.

Kemudian, perihal cinta.. Lebih baik dicintai atau mencintai?

Hari ini, muncul satu pertanyaan ini di laman aplikasi tanya jawab anonim yang gue pasang di media sosial.

Lebih baik dicintai orang yang kita tidak terlalu tertarik? Atau, mencintai orang yang tidak terlalu tertarik dengan kita?

Sungguh pertanyaan yang berat. Gue memikirkan ini sembari bengong di mobil tadi sore. Sebab, menurut gue ini pertanyaan yang sulit. Karena sekali lagi, perihal jatuh cinta dan mencintai seseorang, itu perkara yang cukup rumit. Ada banyak faktor kenapa orang bisa jatuh cinta dan mencintai orang lain segitunya. Sekalipun, orang ini tidak pernah melirik mereka satu senti pun.

Tapi, pada akhirnya jawaban gue adalah: memilih mana yang paling baik untuk kedua belah pihak sehingga nggak ada satu pihak yang tersakiti.

Mencintai itu memang nggak mudah, apalagi kalau ternyata hanya mencintai sendirian. Tapi, dicintai orang lain juga rasanya nggak semudah itu kalau bukan dia orangnya.

Jadi, pada akhirnya, memang harus sama-sama saling membutuhkan. Pada akhirnya, harus sama-sama memberi.

Tapi, apakah semudah itu?

Ya.. Pasti nggak. Pembahasan cinta aja sekarang udah sampai ada seminarnya. Artinya kan memang tidak semudah itu. Karena pada akhirnya, perihal cinta kita semua masih pemula yang harus belajar — agar cinta yang dibangun bisa saling menguatkan, saling memberi, tanpa harus ada yang tersakiti.

--

--

Surinnari

“I think the moment when I stop pretending, will be the moment where I’ve accepted myself.” — Kevin Moon