Jakarta Ramai

Surinnari
6 min readDec 9, 2023

--

Kota ingar bingar yang menyimpan sejuta cerita.

monas

20 tahun.

Selama 20 tahun gue tinggal dan besar di kota Jakarta, baru setelah tuntas dari perantauan-lah gue baru bisa betul-betul berkeliling di kota ini, meskipun terkadang hanya ke tempat yang sama. Kenapa gue bilang demikian? Karena, sebelumnya, gue nggak pernah sebegitunya memperhatikan Jakarta maupun menilik lebih dalam sisi kota ini.

Lebih tepatnya, hal yang gue sebut di atas bisa terjadi setelah gue mencoba untuk naik transportasi umum di Jakarta, yang mana biasanya gue lebih sering pergi dengan keluarga naik kendaraan pribadi.

Dari Blok M ini, cerita gue dimulai.

Daerah pertama yang gue datangi namanya Blok M. Dulu, nama daerah ini cuma selintas saja lewat, entah dari buku yang gue baca atau dari gue yang mendengar orang menyebutkan nama daerah ini.

Hingga, suatu ketika, gue ada keperluan yang mengharuskan untuk menjelajahi wilayah Lebak Bulus dengan MRT. Ini pertama kalinya gue naik MRT, rasanya seperti di Singapura, walaupun aslinya gue belum pernah ke sana.

Gue mampir ke Blok M setelah urusan itu selesai karena lapar mau cari makan. Gue nggak tahu apa-apa tentang Lebak Bulus. Tapi, sayangnya gue nggak sempat eksplorasi semuanya waktu di Blok M. Jadilah, gue hanya makan gulai daging yang rasanya enak. Lokasinya di pujasera belakang Blok M Plaza.

Blok M Plaza, jembatan buat orang-orang bingung mau ke mana kalau di Blok M — seperti gue.

Gue pernah baca sepintas dari sosial media, kalau katanya Blok M Plaza ini sempat sepi, tapi akhirnya berhasil hidup kembali berkat MRT yang memberikan akses semudah itu. Keluar MRT Blok M BCA, tinggal jalan sedikit sudah langsung pintu mal. Kehidupan di mal ini ramai, semua ada, makanan, kebutuhan sehari-hari, produk kecantikan. Benar-benar jawaban untuk orang yang kalau ditanya “jalan ke mana ya enaknya?” nggak tahu mau jawab apa.

Ternyata, gue jadi sering main ke Blok M.

Mulanya, Blok M hanya untuk singgah mencari makan bersama mama dan kakak gue yang dua kali lipat lebih antusias daripada gue saat itu. Tapi, ke depannya, gue malah jadi lebih sering main ke sini.

Kedua kalinya singgah, gue bertemu pertama kali dengan teman online sesama penyuka kpop, fandom sama, sama-sama suka gambar juga. Ketiga kalinya pun begitu, bedanya memang ada acara yang gue hadiri, kalau dijelasin singkatnya sih semacam Comifuro ala Kpopers. Keempat, kelima, dan seterusnya pun pada akhirnya gue memilih ke sini bersama sahabat gue.

Taman Literasi, Papaya, Bookhive.

Entah kali ke berapa, tapi gue pada akhirnya menyempatkan ke Papaya, minimarket ala Jepang yang menjual beragam makanan, tapi gue cuma beli mochi daifuku isi coklat dan green tea. Dan, sebagai orang yang juga senang baca, gue akhirnya datang ke Taman Literasi yang udah popular sejak lama, tapi dasarnya memang gue sering terlambat tahu atau datangnya belakangan. Di sinilah, gue ketemu sama Bookhive, rak mini yang nyediain buku sebagai fasilitas untuk dibaca, dipinjam, atau bahkan ditukar dengan buku yang kita bawa — seperti sistem barter kurang lebih.

Untuk pertama kalinya juga, gue berani main sampai malam di Jakarta.

Rasanya, ga setara kalau gue membandingkan tanah perantauan gue waktu itu yang merupakan kota kecil dengan Jakarta yang penuh dan hingar bingar. Di kota kecil itu, dulu, gue berani kalau harus pergi sendiri bahkan sampai malam, meskipun terkadang ada rasa takut. Tapi, kalau di Jakarta… rasanya beda cerita.

Hingga akhirnya, sahabat baik gue kerja di Jakarta dan gue bisa main sampai malam berkat menginap di rumahnya.

Malam di Jakarta itu.. Beda.

Gue kira, titel sebagai anak Jakarta cukup untuk merasa bahwa gue tahu Jakarta itu seperti apa. Namun, gue salah. Kehidupan malam di Jakarta, dalam konteks yang sebenarnya —kota pada malam hari —membuat gue melihat Jakarta dari sudut pandang lain.

Rupanya, warga kita memang suka sekali jalan malam hari, bahkan untuk sekadar duduk di sekitar Bundaran HI sambil melihat kendaraan lalu-lalang dan minum es jeruk atau es teh manis. Suatu hal yang jarang gue lihat sebelumnya sebagai anak rumahan.

Cikini ke Gondangdia… tapi ini bukan tentang lagu.

Untuk pertama kalinya juga, gue pergi ke Cikini. Dulu, gue cuma tahu soal Cikini karena UI ada di sekitaran sana. Tapi, sejak gue mendalami baca buku bukan sekadar jadi seorang pembaca aja, gue mulai tertarik dengan kunjungan ke perpustakaan. Dan, perpustakaan yang gue pilih pertama kali adalah Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini.

Masih lekat dalam ingatan gue, dulu waktu masih SD atau SMP mungkin, gue pernah minta ke orang tua untuk didaftarkan kelas teater, tapi latihan rutinnya diadakan di Cikini, tepatnya di TIM. Namun, karena banyak pertimbangan, gue mengurungkan niat. Itulah salah satu awal mula gue tahu soal Cikini selain karena UI.

Perpus TIM, begitulah gue menyebutnya, menjadi salah satu perpustakaan yang sukses bikin gue ternganga waktu masuk saking megahnya. Interiornya luar biasa, bukunya juga cukup lengkap, gue menemukan beberapa judul menarik di sini dan duduk cukup lama untuk baca buku.

Sewaktu gue menunggu bus pengumpan untuk pulang ke rumah, fokus gue tertuju ke mikrotrans yang mengarah ke Gondangdia. Entah pada saat itu lagu Cikini Gondangdia sudah popular atau belum, tapi kalau diingat-ingat lucu juga.

Monas dan Stasiun Gambir.

Dua tempat yang sangat amat jarang gue kunjungi. Tapi, pada akhirnya gue mengunjung Stasiun Gambir dan melewati Monas secara otomatis, karena gue harus naik kereta untuk ke Bandung.

Ada pemandangan yang menurut gue bikin perasaan campur aduk pada saat gue berada di Stasiun Gambir, setelah pulang dari Bandung, tapi gue nggak tahu cara jelasinnya gimana. Banyak sekali porter dan para bapak taksi yang menawarkan jasa mereka di sini. Kebetulan, barang bawaan gue sedikit saat itu dan ada alternatif transportasi lain yang gue pilih, jadi dengan berat hati gue katakan.. gue nggak menggunakan jasa mereka.

Tapi, gue salut dengan perjuangan mereka, karena gue yakin pasti nggak semudah yang terlihat. Bahkan, membayangkan mereka membawa barang sebanyak itu, gue tepuk tangan dalam hati. Karena kadang kala, tanpa sadar, membawa beban ringan aja gue selalu mengeluh. Atau lebih tepatnya, dalam hidup, gue amat sering mengeluh.

Tapi, dari semua itu, ada satu hal yang pasti dan selalu menjadi ciri khas dari kota Jakarta, yaitu…

Kota yang ingar bingar, padat, dan sekarang ketambahan dengan polusi. Kabar mengenai langit Jakarta yang jarang bisa biru ini pun bahkan sampai terdengar ke teman gue yang bukan orang Jakarta, sampai disemangatin pula.

Pada salah satu buku yang menyorot sisi lain kota Jakarta, berjudul “Wesel Pos” ada kutipan yang mengatakan:

Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta.

Lantas, apakah kita semua warga maupun orang berdomisili di Jakarta itu sakti? Dan, kenapa bisa sampai disebut orang sakti?

Di Jakarta, semua harus serba cepat. Beda satu menit, bisa gawat.

Kalimat di atas gue tulis bukan tanpa alasan, karena itulah fakta dari tinggal di Jakarta.

Di kota inilah, semua orang datang ramai-ramai mengadu nasib, berharap bisa ada perubahan dalam hidup mereka, bertahan hidup sembari ke sana kemari banting tulang, nggak peduli dengan perkataan orang-orang perihal ibukota lebih kejam dari ibu tiri (meskipun, nggak semua ibu tiri jahat, itu hanya stereotip).

Gue pada akhirnya menyadari satu hal dari Jakarta:

Di sini, semua orang bergerak cepat, seolah tergesa-gesa agar segera sampai tujuan, seolah semuanya betul-betul diburu waktu.

Mungkin, memang begitulah adanya. Telat sedikit, bisa ketinggalan KRL dan menunggu KRL selanjutnya pun tidak selalu pasti datangnya, belum lagi bila harus transit di Stasiun Manggarai yang ramainya luar biasa, hari kerja maupun hari libur. Sampai-sampai, ada sebutan bahwa pertemanan kita diuji bila di stasiun ini.

Semua orang, sibuk dengan urusan mereka masing-masing. LLGG. Lu lu, gue gue. Bukan bermaksud egois, tapi memang mereka sesibuk itu, hingga tak sempat untuk tengok kanan kiri.

Tips dari gue, kalian memang harus selalu mengenakan sepatu ke manapun dan kuatkan kaki. Karena, inilah kunci untuk menjadi orang sakti yang bertahan hidup di Jakarta — ke mana-mana naik transportasi umum, berpacu dengan waktu, dan jalan kaki ratusan meter.

Jadi, dengan segala hal yang sudah gue sebutkan tadi, sebutan orang sakti itu memang bisa disematkan pada mereka yang tinggal di Jakarta dengan segala ingar bingarnya.

Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur.

Percayalah, bahkan jam 10 malam pun, daerah Bundaran HI masih ramai-ramainya. Padahal, dulu semasa merantau, jam 9 itu sudah cenderung sepi di beberapa wilayah.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan kota ini, gue cukup bersyukur bisa menjadi salah satu bagian dari “orang sakti” itu.

Gue nggak pandai membandingkan kota Jakarta dengan kota lain, kecuali yang memang pernah gue singgahi. Tapi, harus gue akui, kota ini punya kelebihan dan kekurangan, selayaknya seluruh tempat lain di muka bumi. Banyak sisi lain, sisi gelap bahkan, yang ada di kota ini , selayaknya manusia yang juga punya sisi lain yang mereka tutupi.

Jakarta mungkin indah, tapi juga punya kekurangan yang tak selalu terlihat oleh semua orang, tak selalu sisi lain ini diketahui oleh mereka yang mungkin sejak awal berasal dari posisi yang berbeda.

Tapi, ada satu hal yang pasti tentang Jakarta, yang menjadi kesimpulan dari semuanya.

Orang sakti atau bukan, Jakarta akan menjadi rumah bagi siapapun yang memutuskan untuk memijakkan kakinya di sana.

--

--

Surinnari
Surinnari

Written by Surinnari

“I think the moment when I stop pretending, will be the moment where I’ve accepted myself.” — Kevin Moon

No responses yet