Igi, Manga, dan Light Novel Kesukaan Kita

Surinnari
4 min readJul 24, 2023

--

Igi

Bahkan setelah beberapa tahun, genre novel favoritmu masih sama.

Waktu itu, kamu bilang kalau suatu hari nanti bisa nulis novel, kamu maunya genre romansa.

Aku, si pendengar setia yang selalu kamu telepon jam satu dini hari hanya untuk berbagi cerita tentang seri Tokyo Ghoul itu, lantas kaget.

Bukannya kamu suka Tokyo Ghoul?

setidaknya, itulah pertanyaanku.

Tapi genre romance juga bagus…

dan inilah jawabanmu.

Lalu kamu bercerita tentang betapa sebenarnya kamu suka genre romance, namun membacanya secara diam-diam.

Padahal, waktu itu kamu terang-terangan nangis di bandara waktu baca light novel.

Waktu itu, kamu cerita kalau sempat nangis di bandara karena salah satu novel yang kamu baca memiliki akhir cerita yang tak terduga. Dan masih lekat juga di ingatanku, kalau itu novel favorit kamu sampai sekarang.

Iya karena itu novelnya bagus banget!

Aku bisa mendengar kamu cerita soal Tokyo Ghoul sampai mengantuk , terjaga, lalu mengantuk lagi.

Kamu pencerita yang andal. Satu jam, hanya serasa satu menit kalau kamu bercerita.

Suatu ketika, waktu aku ingat-ingat kamu menangisi novel kesukaanmu, kamu cuma bisa ketawa malu-malu.

Ah elah! Kok dibahas lagi sih!! Lupa aja dong lupaaaa.

katamu begitu. Tapi… lewat bertahun-tahun pun aku tidak akan lupa.

Jangan sampai lupa.

Satu lagi yang menurutku lucu adalah ketika kamu cerita kalau kamu habis baca novel dan ternyata itu adalah novel yang pernah kubaca satu tahun lalu.

Ternyata kamu baca juga? Menurut kamu gimana? Seru apa nggak?

dan aku selalu jadi orang yang paling suka mendengar pertanyaan itu.

Kamu juga suka manga.

Dan manga itu judulnya Tokyo Ghoul.

Tokyo Ghoul.

Tokyo Ghoul.

Lagi dan lagi.

Tapi kamu tahu kan kalau di kamar aku tuh banyak banget manga! Cuma, Tokyo Ghoul itu yang paaaaling tinggi tumpukannya! Aku tuh punya semua volumenya!

Di antara aku dan dia, memang banyak kesamaan.

Sama-sama otaku.

Ah, benar. Bicara soal hal yang satu ini, aku jadi teringat beberapa hari lalu kamu penasaran perbedaan wibu dan otaku.

Kayanya kita bukan wibu. Emang apa sih bedanya wibu sama otaku? Wotakoi aja bilangnya love is hard for otaku? Narumi sama Hirotaka kan kaya kita. Berarti kita otaku bukan? Bentar aku cari dulu di internet.

Aku kira kamu hanya bercanda.

Lah kamu beneran nyari? Aku kira bercanda doang, Gi…

Tapi ternyata, kamu sudah asik menggulir layar sembari mengerutkan kening karena penasaran dengan perbedaan wibu dan otaku.

Aduh ada pacarku nih, Gi! Hirotaka.

Dan, kamu selalu sensitif sama kata-kata ini.

Ih, apaan? Hirotaka kan gepeng. Aku loh nyata. Aku. Me. Only me.

Padahal, kayanya kamu juga ada deh karakter kesukaan. Tapi ya udah. Toh, di hatiku tetap ada Igi dan Hirotaka. Samping-sampingan.

Meski suka Tokyo Ghoul, Igi takut rumah hantu.

Pengalaman field trip dari kampus adalah salah satu contoh nyata bahwasanya kamu tidak terlalu suka yang berbau horor.

Takut kebawa mimpi…

Tapi, seolah telah diatur, saat antre rumah hantu kita kebagian menjadi barisan depan.

Mata kamu terpejam selama perjalanan di rumah hantu.

Tapi, kalau ditanya, tentu saja aku akan mengatakan bahwa ini salah satu pengalaman yang tidak akan kulupakan.

Tapi, Igi bukan sekadar manga, anime, otaku atau light novel…

Dia lebih dari itu.

Ada kalanya, kamu jadi orang yang paling semangat menceritakan menu baru di restoran milik mamamu dan mengatakan bahwa aku harus jadi orang pertama yang mencicipi resep barunya.

Padahal, pasti sudah ada pelanggan yang datang lebih dulu.

Nggak apa-apa. Kamu nyobainnya di rumah, kalau pelanggan nyobainnya di resto mama.

Kamu juga bisa masak dikit-dikit.

Satu hal soal kamu yang bisa memasak ini adalah fakta bahwa terkadang masakan yang kamu buat selalu terinspirasi dari anime yang kamu tonton. Atau, kamu beri nama masakan itu dengan embel-embel anime.

Ramen Kimi No Nawa

Udon Demon Slayer

Jujutsu Gyoza…

Tapi dari itu semua…

Berkat Igi, aku jadi lebih berani.

Beberapa orang, baru bisa menunjukkan sifat asli mereka setelah kenal lama.

Beberapa memang dari sananya sudah tertutup.

Beberapa justru memilih untuk menutup diri — membatasi agar yang lain hanya tahu permukaannya saja.

Kalau kata sebuah kutipan lagu,

You’ll never find the story of mine.

Dan yang lainnya, ada pula yang memilih untuk terlalu keras menyesuaikan diri, meski ujungnya sakit hati.

Tapi, kamu pernah mengatakan bahwa tidak perlu ada hal baik yang ditutupi. Tidak perlu takut dengan omongan yang membuat kita membatasi diri. Dan, tidak perlu takut untuk menjadi diri sendiri.

Karena, di saat kamu misal nih.. Lagi di titik rendah dalam hidup, merasa seolah-olah nggak layak, setidaknya harus ada satu orang yang merasa kalau kamu berharga.

Siapa, Gi?

Diri kamu sendiri.

--

--

Surinnari

“I think the moment when I stop pretending, will be the moment where I’ve accepted myself.” — Kevin Moon