Aku selalu menunggu kamu.
Cerpen ini terinspirasi oleh 민들레 oleh OOHYO — dinyanyikan kembali oleh Ji Changmin.
Mei, 2012
Aku melepaskan sebelah earphone-ku saat mendengar suara tanah yang bergesekan dengan roda. Aku menoleh dan melihat seorang perempuan turun dari mobil. Mata kami bertemu dan aku bisa melihat senyuman mengembang dari wajahnya. Aku hanya mengangguk kecil sebelum berjalan untuk mematikan keran air yang kugunakan untuk menyiram tanaman.
Saat itu, aku kira perempuan dari kota itu hanya singgah sebentar, mungkin di rumah saudaranya atau rumah keduanya. Tapi, ternyata aku salah. Rupanya, dia singgah untuk waktu yang lama. Cukup lama hingga aku menyadari suatu hal.
Walaupun…
April 2014
Aku memasangkan sebelah earphone-ku padanya dan membiarkannya berbaring beralaskan tanganku sebagai bantal. Sejujurnya sakit sih, tapi aku tidak enak untuk mengatakan ini padanya. Aku hanya bisa tersenyum padanya sambil menyetel sebuah lagu.
Aku memejamkan mata saat alunan musik mulai terdengar, sayup-sayup bersatu dengan suara angin yang seolah menyapa aku dan dia, di tengah piknik kecil-kecilan kami, di halaman belakang rumahnya yang bahkan lebih luas dari rumahku.
Namanya Kana. Dia pindah ke sini dua tahun lalu. Aku baru tahu kami seumuran setelah dia bertamu ke rumah dan memberikan kue mochi. Aku tak banyak bicara saat itu, selain menanyakan namanya.
Aku membuka mataku dan menoleh ke arahnya. Dia juga memejamkan matanya. Entah angin dari mana, tangan kananku terangkat dan meraih puncak kepalanya.
Kana terkesiap dan melepas earphone-nya. Dia merubah posisinya dan duduk menghadap ke arahku. “Eh? Kenapa, Kav?”
Gerakannya yang terlampau tiba-tiba dan cepat membuat earphone-ku juga terlepas. Aku merapikan earphone-ku dan berdiri tanpa menjawab perkataan Kana.
Aku berjalan menuju sepedaku. Aku bisa mendengar suara langkah kaki Kana yang perlahan mendekat. Dia meraih tanganku. “Kavi, kalau kamu nggak ngomong, aku nggak akan ngerti.”
Aku hanya menggeleng dan melihat ke arah tangan dan kepalanya secara bergantian. “Maaf. Tadi aku nggak sengaja.”
“Kav, kamu pernah pacaran?”
Aku yang semula sempat termenung langsung menautkan alis. “Hmm? Kok nanyanya gitu, Na?”
“Siapa tahu kamu punya pacar kan,” goda Kana sambil mendorong bahuku dengan bahunya. Aku hanya tertawa sambil menggeleng.
“Bosen nih, jalan-jalan lagi yuk, Kav,” kata Kana sembari mengecek ponselnya. “Masih siang kok. Mau nggak?”
Aku mengecek jam tanganku untuk memastikan. Benar sih masih siang, tapi aku tak tahu harus mengajak dia ke mana selain ke tempat kami biasa jalan-jalan sore.
“Kavi, kamu suka bunga?” tanyanya sembari berjalan mundur agar bisa melihat wajahku dengan jelas. Aku juga tidak tahu kenapa dia begitu.
“Hati-hati ntar kamu jatuh.” Aku spontan memegang tangannya. Aku menghela napas berat, namun tak melepaskan tangannya barang semenit pun.
Aku termenung sesaat sembari melihat tanganku, sebelum akhirnya, perkataan selanjutnya dari Kana membuyarkan lamunan sesaatku. “Kalau aku mau jatuh, kan ada kamu yang megangin.”
“Ya karena kita lagi di sini. Kalau aku nggak ada, siapa yang megangin?” kataku, dengan nada serius.
Tapi seperti biasa, Kana hanya menjawabnya dengan candaan. “Ya aku mana mungkin jatuh kalau nggak ada kamu. Nah sekarang, ayo jawab pertanyaan aku yang tadi.”
Aku menghela napas panjang sebelum menaiki sepeda, disusul oleh Kana yang tanpa disuruh juga sudah naik dengan sendirinya. Aku memandang Kana sekilas. “Bunga matahari.”
“Kamu?” tanyaku, sembari memberi sedikit jeda setelah menjawab pertanyaan.
“Dandelion.”
“Itu kan nyarinya susah,” kataku sambil menggaruk kepala. Yah, walau sebetulnya aku belum pernah liat bunga ini selain dari tv.
Kana meraih bajuku, katanya sih ini cara dia supaya bisa tetap berpegangan saat naik sepeda, dan aku tidak masalah dengan ini. “Iya makanya aku mau ajak kamu nyari. Cari hari ini yuk bibitnya! Kamu tahu toko bunga dekat-dekat sini?”
“Emangnya dandelion bisa tumbuh di pot bunga?!” aku tak sengaja meninggikan suaraku dan mendapat pukulan pelan dari Kana.
Perempuan itu tertawa. “Yah, mana aku tahu kalau nggak dicoba. Ayo dong, Kav.. please please. Aku pengen banget coba nanam itu. Kamu kan tukang kebun nih, pasti kamu tahu kan cara ngerawat tanaman.”
Aku memutar bola mataku malas, sembari menggeleng. Bisa-bisanya dia mengatakan kalau aku ini tukang kebun? Ya walaupun sebenarnya tidak salah.
“Sekitar dua kilo dari sini kayanya ada deh toko bunga,” kataku sembari menunjuk ke depan. Tenang, aku sudah biasa mengendaraj sepeda dengan sebelah tangan.
“Ih jauh amat dua kilo?” protes Kana.
“Dua kilo itu dekat,” kataku, berusaha meluruskan perkataannya.
“Aku pengen deh punya toko bunga gitu. Coba aja ya, salah satu dari kita punya toko bunga, pasti enak nih nggak perlu jauh-jauh buat beli bibitnya. Enaknya, aku atau kamu ya yang punya toko bunga?” tanya Kana.
Aku tak menjawab secepat sebelumnya. Pertanyaan ini susah. Bahkan, aku sebetulnya belum tahu pasti akan seperti apa di masa depan. Akankah aku masih tetap seperti Kavi yang dulu? Apakah Kana juga masih sama seperti dulu? Aku tahu setiap orang berubah, tapi.. bukankah seharusnya masih ada sisa-sisa masa lalu di diri kita yang seharusnya bisa membuat kita tetap menjadi orang yang sama?
“Jangan diam doang dong,” lagi-lagi Kana protes.
Aku tersenyum sembari membiarkan sinar matahari sedikit mengenai wajahku. Dalam hati aku hanya bisa berharap bahwa suatu saat salah satu, atau bahkan semua mimpi kami terwujud.
“Hmm, nanti aku deh yang punya toko bunga.” Tapi pada akhirnya, hanya ini jawabanku padanya.
Aku dan Kana pada akhirnya membeli bibit bunga dandelion kami masing-masing. Meskipun belum pernah menanam bunga, seharusnya ini bukan pekerjaan sulit. Kecuali…
“Bungaku layu, Kav. Kesel banget deh.”
Jam di rumahku baru menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Kana tiba-tiba saja sudah datang dan menghampiriku di belakang. Seperti biasa, aku sedang menyiram tanaman dan memberi pupuk ke tanaman baru. Minggu lalu, waktu aku dan Kana pergi ke toko bunga, aku membeli beberapa bibit tanaman obat.
“Ya tapi kan kamu nggak harus sepagi ini juga ke rumahku, Na..” aku berdiri dan mematikan keran air. Kulepas sarung tanganku yang mulanya kukenakan untuk memberi pupuk, tapi tak jadi kulakukan karena Kana datang.
Kana memegang pot bunga di tangan kanannya dan menyerahkannya padaku tak lama setelah aku menghampirinya. “Coba lihat deh, kenapa bisa mati ya bunganya?”
“Kebanyakan kamu siram kali?” tanyaku sembari memutar-mutar pot bunga Kana untuk mencari letak masalahnya — yang sebenarnya aku juga tidak tahu apa.
“Kav, aku bulan depan pindah.”
Aku terdiam. Entah mengapa tiba-tiba badanku melemas dan fokusku terpecah. Tanpa sadar, aku menjatuhkan pot tanah liat milik Kana. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali setelah sadar bahwa pot bunganya jatuh dan.. tanpa sengaja terpecah belah.
Aku spontan berjongkok untuk memeriksa, meskipun aku sudah tahu kalau bunganya sudah layu. Tapi, aku tetap tak enak hati dengan Kana. Alih-alih marah, Kana hanya ikut berjongkok denganku sambil mengembuskan napas berat-berat.
“Kenapa — ”
“Maaf kalau aku baru kasih tahu.” suara Kana terdengar lemah. “Ayah baru kasih tahu aku minggu lalu, nggak lama setelah kamu antar aku pulang.”
“Udah sarapan? Mau makan nggak? Kakakku barusan bikin omelet.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Kalau boleh jujur, aku belum siap dengan kepindahan Kana.
“Aku pindah ke Jepang. Ayah dapat proyek ke sana,” sambung Kana.
Aku sudah lebih dulu berjalan menuju dalam. Namun, langkahku terhenti dan napasku tercekat saat mendengar penjelasan dari Kana, yang sebetulnya tidak ingin kudengar.
“Masuk yuk, aku mau makan,” kataku, tanpa mengindahkan perkataannya.
“Setidaknya kamu harus tanggepin omongan aku dulu, Kav,” ujar Kana. Nada bicara lumayan tinggi. Aku tahu dia tidak main-main. “Kamu nggak bisa terus-terusan ngehindarin obrolan ini. Sekali dua kali iya bisa, tapi masa iya sampai aku mau pindah kamu masih tetap nggak mau dengar apa pun?”
Aku menunduk dan mengepalkan tanganku. “Ini cuma soal waktu, Na. Waktunya tuh nggak pas.”
“Zaman kan udah maju. Kita bisa chat atau mungkin email juga bisa kan harusnya? Apa sih yang kamu khawatirin? Kita bisa tetep temenan kaya sebelumnya kok, Kav.” Kana berjalan menghampiriku tak lama setelahnya. Dia menepuk punggungku beberapa kali dan menyandarkan kepalanya di bahuku. “Kita masih bisa temenan.”
Tapi sayangnya, entah kenapa hatiku memilih sebaliknya.
“Kita bahas ini nanti ya, Na.” Aku hanya tersenyum sambil berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Kana yang masih berdiri diam di sana.
Mei, 2014
Bulan ini, tepat dua tahun setelah dia datang. Bulan ini juga, dia memutuskan untuk pindah. Aku yang bukan siapa-siapa, tentu tidak punya hak sama sekali untuk melarang, meskipun aku bersahabat dengannya, meskipun keluarga kami dekat karena rumah kami tak begitu berjauhan. Aku hanya temannya selama di sini.
“Nih.” Kana meraih tanganku dan memberiku sebuah plastik berisi bibit bunga dandelion. “Kamu harus rawat sampai dia tumbuh cantik loh ya. Awas aja nanti aku telepon ternyata bunganya kering.”
Aku memandangi bibit bunga itu sebelum menyimpannya di dalam saku. Alih-alih bersedih, aku berusaha nampak sebaik mungkin. Lagipula, sudah tak ada waktu atau alasan untuk menahan-nahan Kana agar tak jadi pindah.
“Rencananya mau ambil kuliah apa di sana?” tanyaku, dengan nada yang sejujurnya agak canggung. Aku tersenyum setelahnya, seraya dalam hati merasa bahwa semakin jauh saja dengannya.
Kana mengangkat bahu. “Belum tahu. Aku masih harus lanjut buat persiapan kuliah satu tahun dulu di sana. Kamu sendiri?”
Aku menggeleng dan tersenyum simpul. “Belum tahu juga.”
“Pokoknya nanti kalau ada kabar baik, aku harus dikasih tahu.” Kana beralih menepuk bahuku sambil tersenyum.
Aku mengangguk sembari melihat dia yang begitu semangat. Aku tahu kenapa aku menjadi tidak semangat dan uring-uringan seperti ini, tapi lagi-lagi aku tidak bisa memberitahu Kana tentang ini. Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, ini soal waktu.
Atau mungkin…
Memang aku saja yang pengecut.
“Ayah bilang kita akan ke sini satu tahun sekali kalau nggak ada kendala. Mungkin, kita bisa main dan ketemu pas itu. Aku pasti kabarin ke kamu kalau mau ke sini,” ucap Kana. Perkataannya seolah berbisik padaku untuk lebih tenang.
Aku mengangguk lagi. Benar-benar tak ada yang bisa kukatakan, karena suaraku seolah tak mau keluar. Hingga akhirnya, yang dapat kukatakan hanyalah sebatas, “janji kan? aku tunggu kalau emang iya.”
Kana tersenyum dan mengajakku berjabat tangan. “Janji dong, masa iya aku bohong?”
Aku menariknya dan memeluknya sesaat. Kupejamkan mataku, sambil berharap bahwa perkataannya benar. Aku berharap, janji yang dia katakan bukan hanya sekadar janji.
November, 2014
Aku mendorong sepedaku sembari menyusuri jalan yang biasa kulewati dengan Kana, kalau saja dia masih ada di sini. Aku mengecek ponselku, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu. Namun ternyata, kabar yang kutunggu dari Kana tak pernah datang, tak peduli seberapa banyak aku memberi kabar padanya.
“Kamu sesibuk itu ya, di sana?” Aku menghela napas panjang dan menoleh ke belakang. Tanpa sadar, jalan yang kulewati sudah cukup panjang, tapi entah kenapa kakiku tak terasa lelah atau sakit. Satu hal yang bisa kurasakan hanya bingung dan hampa. Apakah aku terlalu berharap? Apakah ini semua harapan palsu?
Aku mengelap pipiku yang basah. Gerimis perlahan turun dan tanpa sadar aku sudah berdiam diri di jalanan ini selama sepuluh menit. Sendirian. Saat tak ada lagi yang harus kupikirkan dan lakukan, aku menaiki sepedaku dan mengayuhnya kencang.
Aku tiba di rumah tepat sebelum hujan turun semakin lebat. Aku memarkirkan sepedaku asal. Karena yang paling penting saat ini adalah aku tak terkena hujan yang sangat deras.
Aku berdiri di dekat jendela sembari memandang ke luar. Mataku melirik pot bunga dandelion yang sudah mulai tumbuh namun belum berbunga itu. Sudah enam bulan sejak Kana pindah, terhitung enam bulan juga sejak bunga itu kutanam. Tapi, tetap tak ada yang berubah.
“Apa kamu sengaja berbunganya nanti-nanti supaya Kana bisa lihat?” aku tersenyum simpul sembari mengajak bicara tanaman di depanku seperti orang aneh.
Rumahku sepi hari ini. Hanya ada aku di rumah, karena semuanya sedang pergi ke luar kota untuk dua hari karena ada urusan. Hujan yang tak kunjung berhenti membuatku mengantuk. Tapi, aku malas masuk ke kamar karena udara di ruang tengah jauh lebih sejuk. Aku lagi-lagi menoleh ke luar jendela, tak tahu apa yang ditunggu, tak tahu apa yang dicari. Perlahan, aku meletakkan kepalaku di meja dan memejamkan mata, seiring angin berembus menerpa wajahku.
PRANG!
Suara yang cukup gaduh itu membangunkanku. Hujan masih turun, tapi sudah tidak sederas tadi. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, masih berusaha mengumpulkan energi. Aku keluar dari rumah untuk mengecek keadaan dan mendapati pot bunga yang tadi kuajak bicara sudah pecah. Lagi-lagi seperti ini.
“Kana, Kana. Udah berapa kali pot bunga dari kamu pecah di sini. Apa aku segitunya nggak bisa jaga ya?” aku mengambil bagian pot yang pecah dan memandanginya sebentar. Aku melihat ke depan dan menadahi hujan dengan tanganku. Kubiarkan tanganku basah karenanya.
“Aku salah nggak sih, Na, berharap kamu balik sekarang juga?”
Januari, 2015
Keluargaku memutuskan untuk pindah, tepat setelah kakak menikah dengan laki-laki pilihannya. Sebenarnya lumayan berat untukku meninggalkan semua kenangan masa lalu di sini — pertemuan dengan Kana, perjalanan dengannya, perpisahan dengannya, hingga semua tentangnya harus kutinggalkan di sini bersama dengan kenangan masa lalu lainnya.
“Kamu bisa balik ke sini kapan-kapan kok, rumahnya kan nggak kita jual.” Kakak merangkulku setelah beberapa kali menepuk bahuku yang lemas.
Betul. Rumahnya tidak dijual, hanya dititipkan ke saudara jauh dari keluarga kami untuk dirawat, karena sewaktu-waktu bisa saja kutempati, atau malah ditempati oleh kakakku.
Sembari berjalan gontai menuju mobil yang sudah menunggu kami, aku menggiring koperku dan mengecek ponselku untuk melihat apakah ada balasan dari Kana, atau sedikit kabar darinya.
Tapi nyatanya, sudah 8 bulan sejak dia pindah dan tak ada balasan sama sekali.
Rencananya, aku akan melanjutkan kuliah di tempat baru, memulai dari awal. Mungkin, kalau hari libur aku bisa pulang ke rumah lama. Aku tak yakin bisa sering ke sana, tapi setidaknya harus kuusahakan.
“Lingkungan di rumah baru nggak jauh beda sama di sini kok, Kav. Yah, seenggaknya bisa ngobatin kan kalau kamu kangen rumah lama,” ucap kakak, menyadarkanku dari lamunan.
Meskipun tak akan tinggal bersama setiap hari di rumah baru karena harus kuliah dan ngekos, kakak mengatakan bahwa aku bisa main kapan saja ke rumah baru, yang katanya punya lingkungan asri dan pekarangan luas, tak jauh berbeda dari rumah lama.
“Kana ada kabar, Kav?” kali ini mama yang bertanya. Aku hanya menggeleng.
Suasana di mobil itu hening tak lama kemudian. Sepertinya tak ada yang ingin mengajakku berbicara, mungkin karena tak ada topik, atau khawatir aku tersinggung karena bahasan Kana.
Dugaanku betul-betul terjadi. Aku dan dia semakin jauh saja rasanya.
Januari 2021
Enam tahun berlalu, tapi tetap tak ada balasan dari Kana sejak hari itu. Dua tahun lalu aku sempat kembali ke rumah lama dan memutuskan untuk menjadikan rumah lama kami sebagai toko bunga kecil-kecilan. Aku mengabarkan hal itu pada Kana, melalui email dan chat-nya. Tapi, tetap tak dibaca, apalagi dibalas.
“Masih nunggu orang dari masa lalu, Mas?” tanya Hanggara, tetangga yang menempati rumah Kana, sekaligus satu-satunya pekerja di toko bunga. Dia tersenyum kepadaku sembari menyemprotkan air pada tanaman hias di luar.
Hanggara datang bersamaan denganku, dua tahun lalu. Umur kami terpaut satu tahun dan Hanggara bilang dia juga cukup canggung dengan orang baru pada awal-awal perkenalan. Tapi, saat aku menjelaskan pada Hanggara akan membuka toko bunga, dia sangat semangat dan malah ingin membantu sejak awal. Aku juga sempat menceritakan Kana padanya, sebelum nama itu betul-betul tak pernah kusebut lagi.
Aku hanya tersenyum. “Udah berlalu.”
“Berlalu berlalu gitu kan bagian dari masa lalu juga. Apa nggak berniat buat cari tahu, Mas?” Hanggara melirik ke arahku sembari memasang sarung tangan.
“Sebenarnya — ”
Telepon berdering sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Hanggara. Dia langsung bergegas melepas sarung tangannya dan memberi isyarat padaku bahwa dia yang akan mengangkat telepon.
“Dengan Clover Flower Shop, Hanggara di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Hanggara melirik ke arahku, memastikan apakah cara penyampaiannya sudah benar. Aku mengangguk.
Aku juga melihat ke arah Hanggara karena dia hanya diam sejak menyapa pelanggan yang mungkin ingin memesan melalui telepon. Hanggara juga beberapa kali melihat ke arahku. “Iya. Ohh.. iya iya. Sebentar ya.”
Aku memberi kode pada Hanggara karena bingung. Lalu, aku bertanya padanya dengan sangat pelan. “Siapa?”
“Ada yang mau tanya-tanya, tapi saya kurang paham, Mas. Saya kasih ke ke mas Kavi aja ya.” Hanggara menjauhkan telepon dari telinganya dan menyerahkannya padaku.
Aku mengangguk dan mengambil telepon itu dari Hanggara. “Halo, Clover Flower Shop. Kavi di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kavi… Maksud kamu.. ini aku, Kana. Udah lama banget ternyata ya, Kav.”
Aku yang semula menunduk karena bersiap untuk menulis catatan, langsung membeku. Aku menoleh ke arah Hanggara yang juga sama-sama bingung karena aku tak berkata apa pun lagi.
Jujur.. tak tahu harus menanggapi semua ini seperti apa.
Satu minggu setelah menelepon, Kana datang ke sini, sendirian. Waktu aku berbincang dengannya di telepon, Kana memang sempat mengatakan bahwa dia akan main-main ke rumah lama, dan dia sempat mencari-cari apa yang baru di sana, termasuk toko bunga.
Hingga akhirnya, dia menemukan toko ini dan hendak membuat pesanan. Tapi, Hanggara yang tidak begitu paham maksudnya, menyerahkan telepon itu padaku. Barulah, dia mengatakan bahwa dia adalah Kana, teman dekatku 9 tahun yang lalu.
Kana datang ke tokoku siang hari, dia hanya tersenyum saat datang dan meletakkan oleh-oleh yang dibawanya. Dia bersikap.. seolah tak terjadi apa-apa.
Hanggara yang sedang meletakkan pot tanaman itu melirik ke arahku sambil berbisik. “Itu orangnya?” dan aku menanggapinya dengan sebuah anggukan pelan.
“Kana, ini.. Hanggara. Dia kerja di sini.” Aku menunjuk Hanggara yang tak lama kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu.
“Hangga,” kata Hanggara sembari mengulurkan tangannya.
Kana tersenyum. “Kana.”
Napasku tidak teratur, entah karena aku marah, kesal, atau malah karena aku terlalu sulit mengekspresikan emosi yang ada dalam diriku. Aku menunduk dan memijat pelipisku sebelum akhirnya menepuk Hanggara. “Ga, kalau nanti ada yang pesan tolong dibantu dulu ya, aku mau ada perlu sebentar.”
“Kana.. apa kita.. bisa ngobrol sebentar?”
“Naik sepeda yuk. Udah lama nggak naik sepeda.” Kana menunjukkan sepeda Hanggara yang terparkir di halaman depan. Aku melirik Hanggara dan anak itu cepat tanggap juga rupanya.
“Pake aja, Mas. Pulangnya titip makanan ya.” Hanggara tertawa setelahnya. Aku tidak menanggapi macam-macam selain tertawa sambil mengiyakan. Dia ini, kalau urusan makanan nomor satu.
“Emang di Jepang nggak ada sepeda apa?” tanyaku sembari mengambil sepeda.
Kana mengikutiku di belakang. “Ya ada, tapi aku nggak bisa bawanya.”
“Ga, pergi dulu!” Aku melambaikan tangan pada Hanggara tak lama setelah Kana naik.
Hanggara membuka sedikit topi yang ia pakai karena cuaca lumayan terik. “Yooo, hati-hati.”
“Kamu apa kabar, Kav?” Kana memulai obrolan kami yang semula sempat dihiasi keheningan saja.
Aku tertawa pelan. Pandanganku tak beralih dari jalanan. “Harusnya aku yang tanya. Kamu hilang nggak ada kabar. Ke mana aja?”
Kana tak menjawab. Hanya suara angin yang menemani jalan-jalan kami siang hari itu. Aku bisa mendengarnya menghela napas panjang.
“Maafin aku, Kav. Beberapa tahun terakhir lumayan sibuk.”
Aku menghela napas berat. “Sesibuk itu?”
Kana mengangguk. “Sayangnya iya.”
“Sampai nggak ada kesempatan buat balas email aku barang satu kali gitu?” tanyaku.
Kana menjawab dengan pelan. “Aku baca.. tapi aku nggak sanggup jawab. Aku merasa, aku nggak bisa nepatin janji ke kamu. Aku janji setiap tahun bisa pulang, tapi ternyata aku harus kerja sambil kuliah dan lain-lain di sana. Aku nggak enak sama kamu, Kav.”
Aku menoleh sedikit ke arah sinar matahari dan memperlambat kayuhan sepedaku. “Kamu nggak harus pulang setiap tahun. Setidaknya kamu kasih kabar.”
“Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Bisa kita bahas yang lain?” tanya Kana, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku nggak tahu kenapa kamu berusaha alihin pembicaraan ini. Tapi, aku udah berusaha juga buat lupain soal yang lama, jadi ya udah..” aku mengayuh sepeda lebih cepat dan berhenti di sebuah kafe teh yang buka satu tahun lalu.
“Suka teh? Ini rekomendasinya Hanggara.” Aku memarkirkan sepedaku sambil melirik Kana yang mengamati kafe itu dengan saksama. “Kalau lihat ekspresi kamu, harusnya suka sih ya.”
“Hangga Hangga itu, teman kuliah kamu atau?”
Aku menggeleng. “Oh, bukan. Dia tinggal di rumah lama kamu. Mungkin kamu nggak tahu karena jaraknya udah lumayan lama. Aku juga.. sebenarnya sempat pindah dari sini, satu tahun setelah kamu.”
Aku mengedarkan pandanganku ke kafe itu. Ternyata ramai sekali, di luar dugaan. Padahal, satu tahun lalu tidak seramai ini. “Rame nih. Kamu mau? Kamu kan nggak suka tempat rame.”
“Kita jalan-jalan aja deh, naik sepeda. Aku udah lama nggak ngehirup udara kota ini,” kata Kana.
Aku tertawa. “Lebay.”
Aku dan Kana kembali menyusuri jalan karena tidak jadi singgah di kafe teh itu. Kukayuh sepedaku pelan, agar bisa berbicara dengan Kana sedikit lebih lama.
“Aku pengen balik kaya kita dulu. Bisa nggak ya?” tanya Kana.
Aku tersenyum tipis. Dari hati yang terdalam, aku juga ingin kembali seperti dulu. Tapi, sepertinya akan sulit jika melihat keadaan dari kenangan masa lalu kita berdua.
“Mungkin bisa. Tapi aku butuh waktu,” jawabku.
Aku menghentikan sepeda di tempat yang biasa kudatangi dengan Kana. “Tempat ini nggak begitu banyak berubahnya ya. Karena sekarang udah jadi taman gitu. Biasanya sore-sore suka rame.”
“Jadi bagus banget ya sekarang,” kata Kana sembari turun dari sepeda.
Untungnya, siang hari masih sepi. Jadi, aku bisa leluasa berbicara dengan Kana.
“Aku selalu nunggu kamu, Na,” kataku.
“Hmm?” Kana menoleh.
“Iya, aku nunggu kamu kabar kamu, nunggu kamu pulang. Pot bunga dandelion punyaku udah berkali-kali jatuh. Mungkin, sama kaya aku, dia juga kangen sama kamu. Aku kangen kamu, Na.” Aku menoleh ke arah Kana dan mengusap puncak kepalanya dengan ragu-ragu.
“Aku suka sama kamu. Tapi dulu nggak berani.” Aku menambahkan sambil tertawa karena malu. “Beraninya baru sekarang. Semoga aja belum telat ya.”
Kana mendekat sembari memegang tanganku. “Kenapa.. baru bilang sekarang?”
“Seperti yang aku bilang tadi. Baru berani.”
Aku dan Kana saling diam. Entah karena sama-sama malu, atau karena tak ada yang ingin kami bicarakan. Aku dan Kana kemudian saling menatap satu sama lain dan tertawa.
“Kaku banget sih kita,” ucap Kana. Aku mengiyakan.
“Pulang yuk, aku ada hadiah. Spesial.”
Kana terharu sesaat setelah melihat bunga dandelion kuning yang ditunjukkan oleh Kavi. Ada beberapa yang masih ada di pot, ada juga yang di tanam langsung di tanah olehnya.
“Karena potnya terlalu sering jatuh, aku cari cara supaya bisa tetap tanam dandelion-nya.”
Kana mengangguk sembari memandangi beberapa dandelion yang sudah mekar. “Oh ya, tadi kamu bilang kalau kamu sempat pindah rumah. Kenapa?”
“Nggak lama setelah kakak nikah, aku sekeluarga pindah, dan nggak lama setelahnya aku juga ngekos karena kuliah. 2019 baru aku balik lagi ke sini dan mutusin buat nyoba buka toko bunga, ternyata hasilnya lumayan,” ceritaku pada Kana sembari menyembunyikan sesuatu di belakang tanganku.
“Ini hadiah yang aku maksud,” tambahku sembari menyerahkan bunga dandelion yang sudah mekar pada Kana.
Kana mengambil bunga itu dan membaca tulisan pada kertas yang kugantungkan di sana.
Remember me, Kana.
“Dandelion selalu mengingatkan aku tentang kamu, Na. Tentang hari-hari yang kita lewatin bareng, tentang kepindahan kamu, tentang harapan aku — harapan kalau kamu kembali, harapan kalau kamu punya perasaan yang sama dan kita bisa sama-sama,” aku meraih tangan Kana dan menggenggamnya erat. Kali ini, tidak akan kulepas.
“Aku udah nunggu lama buat ngomong ini ke kamu. Kana, aku sayang sama kamu. Aku akan buat kamu tersenyum, ketawa, kita jalanin semuanya sama-sama. Selamanya,” tambahku.
Kana hanya terdiam dan hal ini membuatku cukup bingung. Aku menatap matanya, sembari bertanya dengan pelan. “Jadi, jawabannya?”
Kana tidak menjawab dengan perkataan. Dia langsung meletakkan bunga dandelion itu di atas meja dan beralih memelukku erat. Aku bisa merasakannya menangis. Tak apa. Aku tidak akan pergi. Jika dia akan terjatuh, ada aku yang akan memeganginya. Jika dia menangis, ada aku yang akan menghapus air matanya.
Seluruh waktu ini, kuharap bisa kuhabiskan bersamanya. Selalu. Selamanya.
Aku memejamkan mataku dan berkata pelan padanya. “Makasih udah datang lagi di hidup aku.”