Sebuah catatan untuk diri kita sendiri
Aku selalu punya waktu untuk menyendiri, sering kusebut sebagai self-healing atau mungkin me time kata orang kebanyakan.
Bagiku, waktu untuk menyendiri itu benar-benar berarti, entah karena lelah oleh hiruk pikuknya suasana pertemanan atau orang-orang sekitar, atau memang karena lebih nyaman saja, seolah saat sendiri itu kita benar-benar bisa menjadi diri kita sepenuhnya.
Siang itu, seusai memenuhi rasa lapar dan mencegah sakit perut akibat lupa sarapan pagi, aku berjalan menyusuri jalanan kampusku, melangkahkan kaki menuju perpustakaan tanpa ragu.
Pada awalnya, aku memang hampir mengeluh karena siang itu matahari benar-benar terik, tapi aku juga tidak mau hujan datang, meskipun aku bawa payung. Entahlah, kurasa matahari siang itu seolah menyemangatiku dengan terik sinarnya.
Jalanan menuju perpustakaan sepi, mungkin karena jalan itu kususuri saat perkuliahan sedang berlangsung, jadi tak banyak motor yang berlalu-lalang. Kalaupun ada, itu hanya segelintir saja.
“Kok sendirian aja?”
Pertanyaan itu kerap hadir saat aku melakukan segala sesuatu sendirian, yang kemudian akan kujawab dengan senyuman dan perkataan singkat.
“Eh, iya, nggak apa-apa.”
Lagipula, sendirian itu tak masalah kok. Anggap saja agar lebih mengenal diri sendiri.
Tibalah aku di depan gedung perpustakaan kampus, bertepatan dengan aku melihat beberapa mahasiswa keluar masuk dari kejauhan. Aku berjalan masuk ke gedung perpustakaan, mengeluarkan kartu perpustakaan sebelum menitipkan tasku di loker penitipan.
Fokus mataku mungkin tertuju pada tangga yang kunaiki, namun sejujurnya pikiranku bercabang hari itu.
Ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang melintas di dalam pikiran, juga beberapa pemikiran tentang cita-cita, masa depan. Pertanyaan itu timbul kapan saja, entah saat aku sedang di toko buku, perpustakaan, atau bahkan saat duduk di depan laptop yang terbuka di meja belajar kosan.
“Aku bisa nggak sih?”
“Mimpiku ketinggian nggak ya?”
“Aku tuh sebenarnya pintar nggak sih?”
“Temanku keren-keren banget, kapan ya aku bisa seperti dia?”
“Cita-citaku akan terwujud kapan ya?”
“Hasil karya tulisanku bagus nggak sih?” — ah, ini suka muncul kalau sehabis menulis sebuah cerita.
Atau pemikiran tentang gagal — padahal, seringkali belum melangkah untuk mencoba.
Aku selalu punya perasaan insecure.
Kalian pernah tidak, kalau sendirian, tiba-tiba muncul perasaan insecure?
Aku sering merasa seperti itu, dengan sebab yang sangat banyak dan banyak pula nasihat yang mengatakan, “ehh nggak boleh insecure kayak begitu.”
Tapi, perasaan dan pertanyaan itu tetap saja muncul.
Perasaan meragukan diri sendiri, insecure, atau apa pun itu, kerap kali muncul saat aku melihat orang lain jauh lebih (katakanlah) sukses dariku. Saat melihat teman yang lebih sukses misalnya, sukses dengan prestasinya yang sangat ciamik selama menjadi mahasiswa. Teman yang aktif di organisasi, tapi nilainya bagus-bagus, atau teman yang selalu bisa menjawab pertanyaan di ujian padahal sehari-hari terlihat santai. Atau, saat sedang dibanding-bandingkan, atau memang aku sendiri yang kerap kali membandingkan diriku dengan orang lain.
Yang kemudian membuatku bertanya,
“Kapan sih aku bisa kayak dia?”
Kadang, perasaan itu juga muncul saat aku merasa berbeda. Saat di mana aku memiliki sebuah pemikiran atau sebutlah visi, atau mungkin cita-cita, tetapi ternyata sekitarku tidak satu frekuensi denganku. Kalaupun ada, mungkin hanya ada beberapa yang mengerti.
Kadangkala aku enggan untuk mengutarakan impianku, selain kepada diriku sendiri dan keluarga. Sebab, aku takut mimpiku dikatakan terlalu tinggi untuk seorang yang sepertiku. Aku seperti apa memangnya? Ya, seperti ini. Hanya diriku sendiri yang suka menulis dan baca.
Ada sebuah perasaan yang membuatku malah meragukan diriku sendiri, merasa ciut. Rasanya seperti… aku belum seberapa untuk mimpi itu.
Belajar yang rajin, biar pintar dan bisa mengerjakan banyak hal, biar nggak selalu bergantung pada orang lain.
Kata-kata di atas selalu aku jadikan acuan untuk terus bergerak maju. Kata-kata itu seolah menjadi sebuah penguat dalam diriku untuk tetap belajar. Belajar apa pun itu. Karena menurutku, akan ada banyak hal yang kutemui kalau aku belajar. Dan, belajar akan mengurangi rasa insecure dalam diriku.
Ada ribuan bintang di langit dan aku ingin mendapatkan satu.
Ada banyak cita-cita yang kutuliskan di catatan harian. Beberapa telah terwujud, beberapa masih ada yang harus dan terus diperjuangkan. Katanya, kita memang harus selalu berjuang untuk menggapai mimpi kita, berhasil atau tidaknya pada saat kita harapkan, anggap saja itu sebagai bonus.
Bonus dari kerja keras dan berdoa.
Tapi, gagal juga sering menemani perjuangan.
Kalau yang namanya gagal, itu sakit. Terlebih, kalau aku merasa sudah bekerja keras, merelakan beberapa hal demi impian, tapi hasilnya tidak sesuai harapan. Rasanya tuh seperti aku tengah terbang untuk mengambil bintang, tapi kemudian dijatuhkan ke dasar.
Tapi, gagal itu harusnya menjadi acuan untuk kita bisa lebih baik lagi.
Belajar dari pengalaman, katanya.
Yah, sebenarnya jawaban dari pertanyaanku selama ini adalah kerja keras tanpa pantang menyerah, restu orang tua (ini penting), berdoa, dan tidak boleh meragukan diri sendiri lagi. Yang membuat kita jatuh itu bisa jadi ada faktor orang lainnya, selain mungkin perasaan-perasaan takut gagal dari dalam diri. Tapi kalau mau bangkit kembali mengejar mimpi, setelah dipikir-pikir memang harus dari kemauan diri sendiri.
Kalau terus menerus meragukan diri, kapan aku percaya bahwa aku bisa?
Setidaknya, kalau aku percaya pada diri ini bahwa aku bisa, energi untuk mencapai impian itu akan lebih bertambah.
Kalau terus menerus takut akan gagal, kapan aku mau bergerak untuk mencoba?
Dalam meraih sesuatu, memang ada yang harus direlakan, itu sudah menjadi resiko. Tapi, kalau tidak pernah bergerak untuk mencoba, yang ada akan penasaran, siapa tahu sebenarnya bisa, tapi karena tidak mencoba, kita tidak tahu hasilnya akan baik atau tidak.
Untuk diriku, tetaplah percaya pada mimpimu, kejarlah cita-cita kamu. Jangan lagi meragukan diri kamu sendiri. Kamu bisa, kok, hanya perlu terus berusaha dan berdoa. Omongan dari orang-orang sekitar itu biasa, anggap saja mereka sedang mengasah kamu untuk lebih semangat lagi. Mereka yang meragukan mimpi kamu juga jangan kamu jadikan belenggu. Jalannya masih lumayan panjang, yuk terus berusaha. Kan, hasil kerja kerasnya nanti untuk kamu juga. Semangat!