1001 Alasan

Surinnari
5 min readAug 7, 2023

--

Ada seribu lebih alasan kenapa Edgar nggak pernah bisa pacaran.

Deket doang jadian kagak.

Kalimat ini kerap kali disebut-sebut oleh Wisnu setiap kali Geng Gong kumpul. Nama asli grup vokal ini sih bukan Geng Gong, tapi Wisnu bilang suka belibet kalau harus bilang “Delapan Jadi Satu”. Padahal, nggak sesulit itu. Ini emang akal-akalan Wisnu aja.

Lalu kepada siapa kalimat sindiran tersebut ditujukan oleh Wisnu?

Edgar.

Posisi: ketua tim. Status: single sejak SMP, karena konon dia pas SD pernah pacaran sama murid les mamanya.

Bukan tanpa alasan Wisnu mengatakan hal demikian pada Edgar saking gregetnya. Anggota lain juga sepemikiran dengan Wisnu, tapi mereka lebih memilih jadi pengamat dibandingkan Wisnu yang memang kompor.

Edgar itu, dekat sama satu perempuan. Tapi, nggak pernah jadian dengan alasan cuma teman.

“Alah semua juga berawal dari temen, lo tanya aja sama si Nuno ya kan, No?” tanya Wisnu. Nuno yang sedang cuci piring hanya bisa bingung lihat kanan kiri. Yoga melirik Nuno dan hanya geleng-geleng. Pemandangan nggak asing. Namanya juga Wisnu.

“Emang Nuno kenapa?” tanya pria bertubuh tinggi besar dan berkacamata itu. Meski postur tubuhnya mirip pengawal yang disegani khalayak, jauh di dalamnya ia selembut kapas. Namanya Martin.

“Nuno kan jadian sama temen SMP-nya,” celetuk Wisnu tanpa berpikir panjang. Lantas, Wisnu dibalas dengan tatapan tajam oleh Nuno. Pasalnya, di antara mereka semua, memang baru Wisnu yang tahu kalau Nuno jadian.

Edgar yang lagi sibuk goreng ayam setelah diajarkan oleh Wisnu supaya tidak gosong itu pun sontak menoleh ke Nuno yang berdiri di belakangnya. Nuno hanya nyengir.

“Nggak jadian jadian banget kok,”

Wisnu mengerutkan kening. “Nggak jadian jadian banget apaan sih? Emang boleh se jadian ini? Ah apa sih, No, elah.. Aneh dah mulai.”

Nuno tertawa sembari mengeringkan tangannya supaya bisa membantu Edgar goreng ayam. “Maksudnya, kita mah pelan-pelan aja, bukan yang sat set sat set apa gimana banget kok. Lo juga bisa gitu kok, Gar.”

Edgar yang bingung kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue? Lah kok jadi gue?”

Wisnu membanting kacang goreng yang sedang ia makan dengan sangat dramatis. “Buset, Edgar. Tolong. Ini dari tadi topik bahasannya kan emang lo.”

“Mungkin pikiran Bang Edgar lagi keliling dunia,” balas Jojo seadanya. Meski tergolong nggak banyak omong, perkataan yang keluar dari mulut Jojo kadang ada benarnya dan nggak jarang nyelekit. Di antara mereka berdelapan, Jojo sendiri yang masih kuliah semester akhir.

Di sela-sela perdebatan drama antara Wisnu, Edgar, dan Nuno yang nggak tahu menahu tapi disebut-sebut itu, ada Yoga yang hanya diam saja dan Martin yang melihat Nuno dengan tatapan tidak percaya.

“No, wah lo gila ya, No. Gue kira kita soulmate, No. Masa Wisnu duluan yang tahu kalau lo jadian? Wah, pengkhianatan berat ini, No,” ujar Martin dengan sangat dramatis.

Sean yang lebih dewasa pun menengahi. “Aduh udah udah. Mending makan ayam dah, udah mateng belum, Gar?”

Edgar mengangguk sembari menyalin nasi ke piring. Hari ini mereka sedang kumpul di rumah Nuno karena paling luas dan paling dekat sama kampus. Kasihan kalau jauh-jauh, Jojo bisa pusing, takut tiba-tiba disuruh bimbingan ke kampus.

Edgar duduk di pojokan dengan sepiring nasi ayam goreng dan sambal korek ala kadarnya yang diulek sama Wisnu, si koki dadakan.

Kalau dipikir-pikir, memang semua perkataan teman Edgar itu ada benarnya. Edgar, belum pernah pacaran serius dan nggak berani nembak cewek.

Tapi, bukan Edgar kalau nggak denial dulu, sadar kemudian.

Ketika keheningan menyelimuti ruang makan, Edgar pun memecah suasana dengan bertanya. “Terus, gue harus apa dong?”

“YA TWMBWAK AWA,” celetuk Wisnu dengan mulut penuh nasi. “UHUK! AIR BRO BRO, AIR,” Wisnu dengan hebohnya menepuk-nepuk lengan Sandi untuk minta tolong diambilkan air.

“Makanya kalo makan jangan sambil ngoceh,” balas Sandi, dengan tetap mengambilkan air untuk Wisnu tentunya.

“Gue kayanya nggak bisa pacaran deh,” jawab Edgar singkat.

Sean melirik Edgar, memberi kode seolah bertanya apa alasan Edgar mengatakan itu.

Edgar menatap semua teman-temannya satu persatu. “Gue kan sibuk banget.”

Nuno mengangguk. “Fakta sih. Tapi masalahnya, emangnya nggak terlalu lama ga kalo temenan terus?”

Edgar menggaruk kepala. “Salah ya?”

Wisnu, si mak comblang paling semangat itu pun menghela napas panjang setelah minum air. “Maksud kita, ya.. Ya udah deh baiknya gimana aja, Bang.”

Edgar… hanya terdiam. Sepertinya ada yang salah ya?

Edgar sering pulang jam 3 pagi.

Bukan hal asing lagi kalau Edgar itu memang hampir setiap hari pulang jam 3 pagi dari studionya. Kalau dihitung dengan beres-beres, baru bisa tidur jam 4 pagi. Itu pun kalau ngantuk. Ada beberapa hari yang Edgar lebih pilih tidur di tempat lain selain kamar.

Lebih berasa tidur, katanya.

Entah apa alasannya.

Malam ke dua di rumah Nuno…

“Lo tumben begadang.” Martin keluar dari kamarnya dan melihat Sean masih melek di depan laptop.

Sean hanya mengangguk-angguk sambil sesekali membetulkan kacamata yang turun.

Di tengah keheningan, hanya ada suara air dari galon saat Martin mengambil minum yang terdengar, juga suara keyboard Sean. Baik Sean ataupun Martin tidak berkata apa-apa. Hingga akhirnya..

“Gue tidur sini aja deh,” katanya.

Sean menoleh dan melihat Martin tiba-tiba sudah meringkuk di sofa. Bingung karena sikap Martin, Sean pun meletakkan laptop di meja dan menghela napas panjang. “Gue nungguin si Edgar.”

Martin melirik jam dinding, meskipun penglihatannya agak samar. “Jam 2 pagi loh ini,”

“Gue udah tidur sih tadi, terus tiba-tiba pengen buka laptop,” ujar Sean.

Martin bangkit dan mengambil laptop Sean. “Ya udah gue ikutan juga dong. Nyobain begadang.”

“Begadang di mana-mana diobatin.. Ini malah dicobain..” heran Sean.

Krek. Krincing!

“Lah? Lo berdua ngapain?”

Muka bantal, rambut agak kusut, sweater hitam, dan kacamata yang udah nggak karuan.

Edgar akhirnya pulang juga.

Suara bunyi kunci rumah Nuno yang ia pinjamkan pada Edgar mengisi keheningan pukul dua pagi itu. Sean dan Martin saling menatap, lalu beralih melihat Edgar.

“Lo berdua jangan ngelihatin gue kaya gitu dong! Ada sesuatu ya di belakang gue?” Edgar geser kanan kiri dan melihat dengan was-was ke arah belakang.

Martin pun bertepuk tangan tanpa aba-aba. Disusul oleh Sean yang pura-pura menangis. Dan yang lebih membuat Edgar heran adalah Jojo yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya dan berkata, “Lah, tumben Bang udah pulang?”

Edgar sebenarnya suka banget sama Alice, teman organisasinya. Tapi…

“Ada yang nembak gue, Gar. Menurut lo gue terima atau nggak?”

Edgar cuma bisa bengong dan merenung setelah dengar perkataan Alice hari itu. Niat hati ingin mengajak makan, malah mendengar kalimat sakral yang dia harap nggak pernah dia dengar lagi… Seharusnya selamanya.

Untuk ke sekian kalinya, gue ditolak halus. Sial.

Edgar merutuk pelan dalam hatinya yang perlahan remuk. Dia hanya tersenyum dan berkata, “te..rima aja sih.. menurut gue.”

“Serius? Menurut lo dia baik buat gue?”

Pake nanya. Menurut gue ya, yang paling baik ya gue lah.

Tapi tentunya, kalimat itu tidak keluar dari mulut Edgar. Hanya senyuman getir yang mampu ia layangkan, sembari berkata pelan, “gue.. kayanya gue ada agenda deh, Lis. Iya, ada. Gue duluan ya kalau gitu.”

Edgar tidak mampu mendengar apapun lagi dan memilih untuk kabur untuk ke sekian kali.

Cinta memang nggak tepat waktu.

Atau memang ga tercipta untuk gue?

Padahal jawaban sebenarnya, Edgar cuma nggak peka.

Karena…

“Lo jangan bilang siapa-siapa ya, Tin, kalau gue suka sama kak Edgar. Ah, udah kadung ketahuan lagi.”

“Tembak lah,”

“Ngawur.”

Namanya juga Martin.

Dan pada akhirnya, Edgar tetap single, dan seseorang yang suka sama dia, sampai detik ini dengar-dengar belum berani bilang.

Yah, setidaknya Martin tahu.

Tapi, kira-kira apakah Edgar akan tahu? Atau…

“Bang, ada yang suka sama lo nih, teman sekelas gue sama Nuno.”

“Hah..?” hanya satu kata ini yang bisa Edgar katakan.

Dan yah, ujung-ujungnya sih.. Martin bocor.

--

--

Surinnari

“I think the moment when I stop pretending, will be the moment where I’ve accepted myself.” — Kevin Moon